Sastra bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan cerminan perjalanan sejarah, budaya, dan psikologi kolektif suatu bangsa. Hal ini ditegaskan dalam acara Kuliah Khusus: Seri Sastra Korea Abad ke-20 yang diselenggarakan oleh Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) pada Senin (24/03/2025). Menghadirkan Dr. Rostineu, S.S., M.A., dosen dari Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia, kuliah ini mengajak peserta menelusuri dinamika sosial dan budaya Korea melalui karya-karya sastra dari para penulis besar abad ke-20.

Ketertarikan penulis pada sastra Korea bermula dari pengalaman membaca Seri Sastra Korea Abad ke-20 jilid 5 yang diterima sebagai hadiah saat menghadiri acara “Baca K-Book Bersama KCCI dan Perpusnas”. Saat mengetahui adanya kuliah khusus ini, penulis pun antusias untuk hadir, didorong oleh rasa penasaran terhadap cara memahami karya-karya sastra yang tergolong kompleks tersebut. Kuliah ini tak hanya menjawab rasa penasaran itu, tetapi juga membuka cakrawala baru melalui penelusuran aspek sejarah yang dijelaskan oleh pembicara.

Sastra Korea abad ke-20 tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah yang melingkupinya: mulai dari era kolonialisme Jepang hingga perjuangan menuju demokrasi. Karya-karya para penulis seperti Cho Myung-hee, Yi Sang, Yi Kwang-su, dan Kim Dong-in, yang dimuat dalam jilid pertama dan kedua Seri Sastra Korea Abad ke-20, bukan sekadar karya sastra biasa, melainkan wujud perlawanan, ekspresi identitas, dan potret kondisi sosial masyarakat pada masanya.
Dr. Rostineu menekankan pentingnya memahami latar belakang kehidupan para penulis sebagai kunci untuk menginterpretasi karya mereka secara utuh. Dengan menyelami kondisi sosial, politik, dan budaya zaman itu, pembaca dapat merasakan aspek psikologis seperti kegelisahan serta semangat yang terpatri dalam setiap tulisan.
Menelusuri Jejak Tokoh-Tokoh Kunci
Acara kuliah ini membawa peserta menyelami kehidupan para tokoh sastra yang tumbuh dalam kerangka sejarah yang penuh dinamika. Tokoh sastra yang menjadi fokus pembahasan ialah yang karyanya dimuat pada dua jilid pertama Seri Sastra Korea Abad ke-20, yakni Cho Myung-hee, Yi Sang, Yi Kwang-su, dan Kim Dong-in. Setiap penulis memiliki latar yang unik, yang kemudian mempengaruhi cara mereka mengungkapkan realitas melalui kata-kata.

Cho Myung-hee (1894-1938), lahir pada akhir masa Dinasti Joseon dan hidup di awal masa pendudukan Jepang, tumbuh di tengah penderitaan rakyat Korea, khususnya para petani yang hidup dalam kemiskinan struktural. Pada masa itu, Jepang mulai mencengkeram Korea secara politik dan ekonomi. Namun, setelah Pergerakan Samil pada 1 Maret 1919, muncul pelonggaran di bidang pendidikan dan pers yang membuka jalan bagi kebangkitan sastra. Dalam konteks inilah Cho Myung-hee menulis, menghadirkan narasi getir tentang kehidupan masyarakat kecil yang terpinggirkan. Ia menjadikan sastra sebagai cermin penderitaan sosial, menyuarakan realitas keras yang dihadapi rakyat sehari-hari melalui gaya bahasa yang lugas dan sederhana.
Di sisi lain, Yi Sang (1910-1937), penulis avant-garde yang hidup di bawah bayang-bayang pendudukan, menghadirkan nuansa berbeda. Terpapar modernisasi sejak muda—melalui kehadiran pedagang, guru, dan pemuka agama dari barat—Yi Sang membawa warna eksperimental dengan perspektif psikologis yang jarang ditemukan pada masa itu. Karya-karyanya penuh dengan kegelisahan eksistensial dan alienasi, merefleksikan kompleksitas kehidupan di bawah tekanan kolonial.
Selanjutnya, Yi Kwang-su (1892-1950) muncul sebagai figur yang menjadi saksi hidup berbagai fase penting dalam sejarah Korea, mulai dari berakhirnya masa isolasi, pendudukan Jepang, hingga era awal kemerdekaan dan pecahnya perang Korea. Menempuh pendidikan di Jepang, ia menyerap berbagai gagasan modernitas dari Timur dan Barat. Dalam karya-karyanya, Yi Kwang-su menggunakan gaya bahasa yang ekspresif dalam menyajikan realita sosial. Ia menumbuhkan kesadaran akan kondisi bangsa Korea yang menjadi sumber inspirasi bagi gerakan sosial dan nasionalisme bangsa Korea dalam melawan Jepang.
Adapun Kim Dong-in (1900-1951) lahir di masa ketika Korea sudah membuka diri terhadap pengaruh asing, khususnya arus modernisasi dari Barat. Terinspirasi oleh gagasan kebebasan dan kesetaraan yang dibawa oleh paham negara-negara Barat, Kim Dong-in dalam karyanya Lashing (Catatan dari Penjara) menggunakan angka sebagai nama tokoh—simbol dari hilangnya identitas dan dehumanisasi yang dialami rakyat Korea. Melalui pendekatan simbolis ini, ia menggambarkan perjuangan batin manusia dalam mempertahankan kemanusiaannya di tengah situasi yang penuh ketidakadilan dan kesengsaraan.

Sastra sebagai Katalis Kesadaran dan Perlawanan
Setelah sesi pemaparan dari Dr. Rostineu, kuliah khusus ini berlanjut dengan diskusi interaktif yang memancing banyak pertanyaan dari peserta. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Mia, peserta asal Jakarta Barat, yang membandingkan sejarah Korea dengan Indonesia. Melihat kesamaan jejak imperialisme Jepang antara Indonesia dan Korea, ia mempertanyakan apakah Korea memiliki karya sastra sentral seperti Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer di Indonesia. Dr. Rostineu menjelaskan bahwa meskipun pola perjuangannya serupa, sastra Korea tersebar melalui berbagai suara dan tidak terpusat pada satu tokoh. Lebih lanjut, perjuangan kemerdekaan Korea tidak hanya dipicu oleh kekejaman kolonial, melainkan juga oleh sistem kepenjajahan yang memaksa mobilisasi rakyat Korea sebagai tentara atau tenaga kerja di luar Korea yang membuka cakrawala mereka akan dunia luar. Hal inilah yang memicu kesadaran perjuangan secara kolektif bangsa Korea yang tersebar sampai ke berbagai wilayah, seperti Manchuria, Primorsky Krai, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.

Warisan Sastra dan Relevansi Masa Kini
Buku Seri Sastra Korea Abad ke-20 jilid satu dan dua yang dibagikan oleh KCCI kepada para peserta kuliah khusus ini bagaikan kunci untuk membuka gerbang pemahaman terhadap bangsa yang telah melewati luka kolonial, krisis identitas, hingga kebangkitan budaya.
Inilah kekuatan sastra—ia menyuarakan yang dibungkam, menyalakan api kesadaran, dan menjadi saksi bisu atas perjuangan suatu bangsa. Kuliah khusus ini telah berhasil mendorong para penikmat budaya untuk melihat di balik setiap karya, tersembunyi denyut perlawanan, harapan, dan potret jiwa Korea yang tak lekang oleh waktu.
How about this article?
- Like5
- Support0
- Amazing0
- Sad0
- Curious0
- Insightful0